Nasib Harumanis Tak Lagi Manis

Jakarta - Riiing! Bel tanda istirahat sekolah berbunyi sekitar pukul 09.30 WIB. Sejumlah murid sebuah sekolah dasar di Jalan Kenari, Jakarta Pusat pun bersorak-sorai. Begitu pintu kelas dibuka, bocah-bocah berseragam merah putih pun berlarian.
Sebagian anak bermain ke taman, ada juga yang menuju ke toilet. Mereka yang lapar membuka kotak bekal masing-masing. Nah, anak-anak yang tidak membawa bekal biasanya pergi jajan. Mereka merogoh saku masing-masing dan memamerkan uang jajan mereka.
Lalu bocah-bocah ini menuju pagar sekolah, tepatnya seorang penjual yang membawa sepeda. Tangan penjual jajanan itu memutar-mutarkan mainan yang mengeluarkan bunyi, untuk menarik perhatian mereka.
Sebagian berlari menuju taman, toilet dan sebagian lagi duduk di depan tembok pagar sambil membuka bekal masing-masing. Sementara, empat bocah lainnya, terlihat terburu-buru menuju pintu gerbang sambil merogoh kantung celana. Mereka saling pamer uang yang dimilikinya itu.
"Bang aku beli harumanis satu dong, yang banyak ya harumanisnya," pinta bocah berumur 8 tahun itu sambil menyodorkan uang Rp 1.000 kepada si penjual, Kamis (25/2/2010).
Sementara teman-temannya pun berebutan membeli harumanis. Penjual dengan sigap membuka kotak dan mengambil beberapa jumput harumanis yang berbentuk serabut atau benang kusut berwarna merah muda. Harumanis lalu dijepit dengan simping, sejenis opak, barulah harumanis siap disajikan. Kres, kres, anak-anak SD itu bersuka cita menikmati jajanan manis mereka.
"Lumayan, Bang. Kalau ramai seperti di sekolah-sekolah pasti laku dan banyak yang beli," ujar Abdullah, sang penjual aromanis yang ditemui detikcom di SDN Pagi Kenari, Jl Kenari, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis (25/2/2010).
Dul, begitu panggilannya, mengatakan dia tidak membuat harumanis. Dia hanya berjualan harumanis siap saji dari daerah Kramat Asem, Utan Kayu, Jakarta Timur. "Untung buat saya bisa Rp 10.000 sampai Rp 20.000 perhari," jelasnya.
Dul mengaku membeli satu kotak aromanis dari majikannya seharga Rp 20.000 ditambah 4 bungkus simping seharga Rp 15.000. Dirinya setiap hari harus setor ke majikannya Rp 35.000. "Ya kalau lagi laku bisa setor sebanyak itu. Kalau kurang laku, kita bawa sisanya nanti dihitung sama majikan," kata Dul.
Menurut Dul, ada dua macam harumanis. Yang siap saji seperti yang dia jual, atau harumanis yang dibuat dadakan dengan alat pemutar yang dipanaskan. Hasilnya adalah harumanis berbentuk kapas. Kapas gula itu lalu dipintal dan harumanis siap dinikmati.
"Saya dulu membawa itu, tapi berat, Mas. Mending jualan aromanis ini, lebih ringan bawanya," ujar pria berumur 35 tahun ini. Oleh karena itu, harumanis berbentuk kapas sudah semakin jarang ditemui. Harumanis ini masih bisa ditemui di pasar kaget, di tempat rekreasi atau di mal.
Tidak lama berselang, datang tiga mahasiswi membeli harumanis milik Dul. "Sudah jarang makanan kayak begini, jadi ingat waktu SD," kata mereka saat ditanya alasan membeli.
Selain harumanis, Dul juga menceritakan ada jajanan bocah lainnya yang mulai punah yaitu gulali. Gulali adalah gula pasir dicampur tepung dan pewarna, lalu dipanaskan seperti karamel. Setelah itu gulali dibentuk sesuai permintaan, seperti bunga, hewan atau dijadikan peluit.
Makanan bocah tradisional ini mulai tergusur dengan jajanan bocah yang modern seperti burger, es krim dan lolipop. Sementara somay dan batagor relatif masih bertahan. Menghilangnya jajanan tradisional ini, adalah juga imbas dari sejumlah kasus penggunaan pewarna dan pemanis buatan dalam jajanan sekolah. Masalah itu cukup membuat kuatir para orang tua murid yang anaknya suka jajan sembarangan.

Artikel Terkait :



Tidak ada komentar:

Arsipnya